Menjelang hari H, Cindy masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Cindy. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Cindy mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Cindy sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Cindy bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Cindy terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Cindy yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Cindy menyampaikan keinginan Arby untuk melamarnya. Arisan keluarga Cindy dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Cindy kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Cindy menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Cindy bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Cindy yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Cindy!
Cindy serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Arby memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Arby berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Cindy tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Cindy tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Cindy tidak serius dengan Arby, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Cindy terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Cindy sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Cindy memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Cindy lontarkan.
Cindy Cuma mau Arby, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Arby. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Arby cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Cindy mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Cindy!
Cukup!
Cindy menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Cindy lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Arby. Barangkali karena Cindy memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Arby tampak 'luar biasa'. Cindy Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Cindy menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Arby. Di sampingnya Cindy bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
1 comments:
:sup:
Post a Comment